Rintik hujan riuh
Menjenguk tiap celah daun jendela
Menjenguk tiap kuntum bunga yang layu
Menjenguk pelupuk mata langit, ia sedang mendung tak mudah membendung
Rintik hujan itu bersejingkat seraya tahu sudut jendela itu berdebu
Kala tidak darimu tak berujar
Kau mencari seakan tahu bagian yang berada dibelakangmu,hirap
Sudut jendela itu kau kunjungi di setiap celah waktu padatmu
Sudut jendela itu kau bersihkan, hingga tak ada lagi celah waktu yang tertutup oleh debu
Sesaat aku bertanya sekali lagi
“Mengapa pula masih melihat di daun jendela? Bukankah sudah jeda dan usai? Bukankah sedang berada pada fase padatnya waktu di udara? Bukankah aktivitas kau sedang padat tuan? Bukankah kau sedang dikejar waktu untuk segera menyelesaikan tiap-tiap lembar kerjamu? Bukankah aktivitas milikmu itu tak ingin diganggu lagi?” tanyaku.
Di sudut jendela itu, kau tetap bungkam
Malam berujar pada tanya kembali
Hendak menebak, langkahnya terburu-buru setelah mengunjungi sudut jendela
“Mengapa langkahmu terburu-buru menatap dari sudut jendela itu? Bukankah sudut jendela ini tak penting menurutmu? Bukankah itu hanya angin lalu saja tuan? Bukankah ruang gerakmu lebih bebas dan lebih baik tanpa racauan kalimat tanya dan sapa darinya? Mengapa pula kau masih berdiam menatap dari sudut jendela itu?” tanyaku.
Kau menatap sudut jendela, kembali bungkam untuk kesekian kalinya
“Baik tuan, tak akan ku ganggu aktivitasmu melihat dari sudut jendela itu,” ucapku.
Celah waktu di sudut jendela
Waktu padatmu ialah menatap dan bungkam
Tanpa jawab yang berujar
Sebab tak ingin mengejar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar