Waktu-waktu telah memakan memori tentang saya dan juga aku
Waktu-waktu pergantian langit pagi menjadi malam, sudah tak terhitung lagi...
Aku memulai
Pekan lalu kau masih menertawakan tentang amplop cokelat yang kuisi dengan bolu cokelat lumer di dalamnya
Tentang purnama yang tak pernah menyembunyikan semburat pipinya yang terang
Kau masih bertutur tentang waktu yang akan mengubah purnama menjadi senja di kala malam
Kau masih mengelak lelucon, tak ingin kalah
Di kala rasa penat menusuk-nusuk pikiran
Kau masih saja berkhayal mendaki puncak Everest
Kau tak suka jika bulir air mata jatuh begitu saja
Karena kau berpikir, merengek bukan solusinya
Kau suka mengejek
Aku suka tertawa saja
Saat Bintang Kejora memilih berbicara jujur pada Langit
Senja memilih bungkam seribu bahasa
Tugasnya tetap memberikan warna terbaiknya, di langit sore sebelum pamit
Senja tetap hangat menyentrik semesta
Teka teki rumit
Saat fungsi x dan y pada aljabar tak mengerti mengapa harus mereka yang dipilih untuk menentukan hasil akhirnya
Antara aku dan saya, rumit
Rumit untuk menjawabnya mendatar atau menurun?
Saat pertanyaan ambigumu selalu bersarang dalam otak saya
Aku suka tertawa renyah saja
Alih-alih saya ingin berhenti
Purnama berkata saya harus mengurungkan niat berhenti
Purnama berkata "Untuk apa berhenti jika tamu itu memang sudah nyaman tinggal dalam bilik rumahmu?"
Sejenak aku riuh
Sejenak saya acuh
Tuan Senja, kau rumit...
Ini ungkapan Langit dalam bentuk puisi, bagi kalian yang baca cerpen bersambung antara Senja dan Langit. Kalian pasti tahu alurnya 😆
Tidak ada komentar:
Posting Komentar